Masa Kejayaan Majalah Game Indonesia Saat Masih Laris Manis

Majalah Game Indonesia


Berita Terkini ~ Majalah game Indonesia sudah mulai mati, kalimat itu pernah terucap dari mulut teman saya sekitar pertengahan 2013 silam. Lebih tepatnya saat sedang membicarakan tutupnya majalah Hot Game yang notabene adalah salah satu dari sekian �pemain lama� majalah game di tanah air.

Kabar gulung tikarnya redaksi Hot Game cukup mengecewakan memang, dan saya sendiri juga bertanya-tanya, kenapa alasan saya tidak lagi membeli majalah game sejak 2009 terakhir. Apakah karena akses internet di rumah membuat majalah tersebut tidak relevan lagi buat kebutuhan informasi saya? Bisa jadi demikian. Yang jelas faktanya, kita lagi-lagi kehilangan salah satu media game yang dulu menjadi acuan dalam memperoleh informasi seputar hobi kita bermain game.

Sebagai gamer yang tumbuh besar diiringi berbagai macam jenis medium game cetak, terus terang saya merasa beruntung telah menjadi saksi mata perkembangan majalah game Indonesia di tanah air. 




Saya ingat ekspos artikel game pertama saya datang dari tabloid anak-anak Fantasi yang saat itu hanya membahas game dalam rubrik khusus empat halaman yang diposisikan di tengah majalah. Setelah Fantasi muncul, saya lupa apakah praktek ini diterapkan juga oleh tabloid anak-anak Hoplaa dan majalah Bobo, yang jelas bagi mereka yang tinggal di Jawa Timur, majalah Mentari Sinar Harapan juga menyertakan suplemen khusus game meski dengan jumlah halaman yang cukup sedikit.

Majalah pertama yang baru benar-benar berfokus membahas game pada saat itu adalah Game Master yang terbit di tahun 1997 silam. Dengan cover Final Fantasy VII yang terpampang jelas di bagian muka, majalah ini menjadi pionir media cetak yang membahas game secara merinci sehingga menjadi oasis bagi mereka yang membutuhkan informasi semacam ini di Indonesia.

Persaingan majalah game sendiri mulai terasa mendekati tahun 2000 awal. Di saat console PSX lagi jaya-jayanya dengan CD game bajakannya, di luar sana ada tiga majalah game yang cukup digemari: Game Mania (dari Jawa Pos), DigiGame (dari Pinpoint) dan HotGame (dari Kompas Gramedia).

Menariknya lagi, persaingan majalah game bisa diibaratkan seperti sebuah roda berputar. Game Mania secara berangsur-angsur meredup ditutupi kehadiran majalah Ultima buatan PT.Ultima Duta yang jauh lebih menarik dari segi pengemasan. Majalah Ultima sendiri tak luput dari konflik internal yang membuatnya terbelah menjadi majalah Zigma (Omega) yang berada di bawah naungan Jawa Pos.

Selain yang sebutkan di atas, ada juga beberapa nama majalah yang sempat menghiasi rak meja belajar saya dulu. Saat itu ada majalah khusus membahas game komputer seperti Game21 yang bersaing ketat dengan majalah PC Game keluaran Hot Game. PC Gamer sendiri juga pernah hadir di Indonesia dengan konten terjemahan yang agak sedikit kaku untuk dibaca.

Lalu ada juga majalah Game Station yang memiliki penyajian konten paling unik, lengkap dengan karakter editorialnya seperti KSH (Kesatria Sarung Hitam), ratu bedak, Sir Maul, dan kawan-kawan yang menambah semarak artikel di majalah mereka.  Bahkan Game Station sempat hadir sebagai acara khusus game yang tayang di stasiun TV nasional juga lo.

penyebab utama dari tewasnya majalah2 game ini adalah munculnya internet

Sama seperti perkembangan majalah game cetak di luar negeri (Gamepro, Nintendo Power, dan lain-lain) tak bisa dipungkiri, penyebab utama dari tewasnya majalah2 game ini adalah munculnya internet yang memudahkan kita mencari tahu game apa yang kita inginkan. Arus informasi yang tidak lagi terbendung memaksa sejumlah media cetak untuk mengusung konten eksklusif yang tak akan kamu temui di media online.

Imbasnya, bila konsumen tidak menyukai konten eksklusif dari game yang dibahas, maka tidak ada alasan bagi pembaca untuk membeli majalah tersebut. Bahkan tak sedikit pula, mereka yang membatalkan abonemen bulanan majalah game karena konten yang mereka cari dirasa sudah tidak lagi relevan. Apalagi karena berbekal internet saja sudah bisa memenuhi kebutuhan informasi ini secara gratis (dan lebih terkini), jadi untuk apa beli majalah yang isinya sudah kita ketahui seminggu lalu.

Kesimpulannya, saya sendiri sebenarnya kurang setuju bila majalah game di tanah air saat ini dibilang mati, karena buktinya di luar sana masih ada pasar yang berminat untuk membaca informasi di sehelai kertas atau layar tablet, meskipun jumlahnya tak lagi sebombastis belasan tahun silam.

Saat ini diperlukan inovasi, biaya, dan momen yang tepat untuk menggairahkan budaya baca di media majalah genggam (via mobile apps), dan saya harap saya masih hidup untuk menyaksikan masa-masa itu bersinar lagi di Indonesia.
LihatTutupKomentar